Jumat, 20 April 2012

khalifah usman bin affan & ali bin abi thalib

BAB I
PENDAHULUAN

Keberhasilan muhammad dalam membangun peradaban dunia dan kemudian ditambah lagi dengan kegemilangan generasi para sahabat yang mewariskan sistem dan nilai luhur saat tampil memegang tongkat kepemimpinan setelahnya merupakan torehan sejarah yang layak dicatat dengan tinta emas.
Khulafaur Rasyidin adalah bukti dari suksesnya pewarisan sistem dan nilai tersebut, wafatnya nabi tidak serta-merta menjadikan islam kehilangan mercusuar peradabannya karena memang risalah ilahiyah ini tidak pernah bergantung pada satu namapun.
Ditangan empat khalifah yang pertama inilah islam telah mencapai puncak kejayaannya. Sebuah prestasi yang belum berulang dua kali sampai hari ini. Hingga suatu hari datang dan merebaknya fitnah yang disulut oleh kedengkian musuh-musuh islam.
Berikut ini adalah beberapa tema sederhana yang berkaitan langsung dengan sejarah kepemimpinan dua khalifah terakhir yakni Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib.
Kami ketengahkan ini agar menjadi daya rangsang guna menggali dan mengkaji makna kebijakan dari pejalanan kepemimpinan beliau berdua. Sehingga, siapapun akan bisa mereguknya untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi sejarah yang kita selami ini adalah tapak perjalanan dua pribadi agung yang langsung berinteraksi dengan rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang pertama sekali merasakan manisnya cucuran hidayah dan kemudian berbuah prilaku yang baik dan elegan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Usman bin Affan Sebelum Masuk Islam
Utsman dilahirkan di mekkah pada tahun 573 masehi bertepatan dengan tahun ke enam dari kelahiran nabi saw. Nama lengkapnya adalah Usman bin Affan bin Abul As bin Umayyah bin Abdu Syams. Usman bin Affan berasl dari kabilah Bani Umayyah. Pada masa itu, Usman bin Affan menjalankan kafilah dagang bersama kerabatnya dari Bani Umayyah.
Utsman adalah saudagar sukses yang berlimpah kekayaan harta. Namun, meski demikian beliau dikenal sebagai sosok yang rendah hati, pemalu, dan dermawan sehingga beliau begitu dihormati oleh masyarakat di sekelilingnya. Ketika itu ia sudah bersahabat dekat dengan Abu Bakar as-siddiq. Sebagai sesama pedagang, mereka sering berhubungan dalam menjalankan usahanya.

B. Usman bin Affan Setelah Masuk Islam
Utsman bin Affan termasuk golongan yang awal masuk Islam atau as-sabiqunal awwalun. Ia menerima ajaran islam berkat ajaran bu Bakar as-Siddiq. Dengan harta kekayaannya, Usman bin Affan membantu perjuangan dakwah Islam. Ketika budak-budak yang masuk Islam disiksa oleh tuannya, ia memerdekakan beberapa orang diantara mereka.
Dibandingkan sahabat-sahabat yang lain, Usman bin Affan memiliki sifat-sifat yang berbeda. Sifat-sifat tersebut antara lain :
1. Rasa malu
Tidak seorang pun diantara sahabat Nabi Muhammad saw, yang memiliki rasa malu seperti Usman bin Affan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim, Nabi Muhammad saw, bersabda, ”Tidaklah engkau malu pada seorang lelaki di mana Malaikat pun sangat malu kepadanya.”
2. Pemurah
Usman bin Affan adalah orang yang sangat dermawan. Tidak seorang pun dari orang Quraisy yang lebih dermawan dari’nya.
Usman bin Affan menikah dengan dua putri Nabi Muhammad saw, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kalsum. Ia menikah dengan Ummu Kalsum setelah Ruqayyah meninggal. Oleh karena itu Usman bin Affan mendapat julukan zu nurain atau memiliki dua cahaya.
Ketika tantangan kaum kafir Quraisy semakin berat, Nabi Muhammad saw memerintahkan kaum muslimin kaum muslimin hijrah ke Habsyah. Pada waktu itu, Usman bin Affan juga berhijrah dengan istrinya, Ruqayyah beserta sahabat-sahabat yang lain. Pada waktu kaum muslimin hijrah ke Madinah, Usman bin Affan juga mengikutinya. Ia rela meninggalkan harta bendanya di Mekkah utuk berhijrah ke Madinah. Setelah itu, ia tidak pernah tertinggaldalam perjuangan membela Islam.
Pada tahun 6 H (627 M), Nabi Muhammad saw, menerima perintah untuk mengerjakan ibadah haji. Kaum muslimin kemudian berangkat menuju Mekkah. Dalam perjalanan menuju Mekkah terjadi kesalah pahaman. Kaum Quraisy Mekkah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang meraka. Oleh karena itu, kaum Quraisy segera melakukan persiapan perang. Mengetahui hal itu, Nabi Muhammad saw segera mengirimkan utusan untuk menjelaskan bahwa kedatangan mereka bemaksud damai. Kaum muslimin semata-mata hanya ingin menunaikan ibadah haji. Salah satu utusan itu adalah Usman bin Affan. Peperangan berhasil dihindarkan dan Perjanjian Hudaibiyah yang sangat termasyhur.
Ketika terjadi Perang Tabuk pada tahun 631 M, Usman bin Affan menanggung sepertiga biaya perang. Ketika itu, kaum Muslimin enggan untuk berangkat perang. Hal itu disebkan cuaca yang panas dan terik. Usman bin Affan menyumbangkan 950 ekor unta, 50 ekor kuda, dan uang uang 1.000 dinar sebagai biaya perang. Akhirnya kaum muslimin berhsil memperoleh kemenangan terbesar dalam perang tersebut. Nabi Muhammad saw. Kemudian bersabda, “Tidak ada yang membahayakan Usman bin Affan, apa pun yang dia lakukan sesudah ini.”
Usman bin Affan ikut berperan penting dalam pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq dan Khalifah Umar bin Khattab. Ia merupakan penasihat yang utama dalam masa pemerintahan keduanya. Usman bin Affan juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat jaminan surga dari Nabi muhammad saw. Beliau pernah bersabda, ”Sesungguhnya tiap nabi akan teman dan temanKu di surga adalah Usman bin Affan.”
C. Masa Pemerintahan Usman bin Affan
Ketika Umar bin Khattab sedang sakit, ia menunjuk Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqas untuk memilih saah satu di antara mereka sebagai khalifah. Pada waktu itu, Talhah bin Ubaidillah tidak ada di rumah. Kelima orang itu bersepakat mengangkat Usman bin Affan menjadi khalifah. Musyawarah itu berlangsung di rumah Abdurrahman bin Auf, pada waktu itu Usman bin Affan berusia 70 tahun.
Secara umum, masa pemerintahan Usman bin Affan meliputi dua periode yang masing-masing berlangsung selama enam tahun. Periode enam tahun pertama ditandai berbagai keberhasilan dan kejayaan. Periode enam tahun kedua ditandai oleh perpecahan, pergolakan, dan pemberontakan dalam negeri.
Pada tahun-tahun pemerintahannya Usman bin Affan meneruskan kebijaksanaan pendahulunya, Umar bin Khattab. Ketika itu, Umar bin Khattab berpesan agar wali (gubernur) yang di angkatnya jangan diganti atau dipindahkan dalam jangka waktu setahun. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi keguncangan dan gangguan keamanan. Berdasarkan pesan itu, Usman bin Affan mengukuhkan beberapa gubernur di beberapa wilayah, yaitu :
1. Amru bin As Gubernur Mesir dan Syam;
2. Mu’awiyah bin Abu Sufyan sebagai Gubernur Irak yang juga meliputi wilayah Azerbaijan dan Armenia;
3. Abu Musa al-Asy’ari sebagai Gubernur Iran yang mencakup Khurasan dan Basra.
Usman bin Affan benar-benar melaksanakan pesan Umar bin Khattab itu. Pada tahun berikutnya, barulah Usman bin Affan mengganti atau memutasikan pejabat-pejabat bawahannya. Selain itu, seiring berkembangnya wilayah Islam, Usman bin Affan juga mengangkat pejabat-pejabat baru. Kecuali yang disebut diatas, pejabat-pejabat pada masa Usman bin Affan merupakan kerabatnya dari Bani Umayyah. Yang paling terkemuka diantara mereka ialah Marwan bin Hakam, saudara sepupu Usman bin Affan. Ia diangkat menjadi sekretaris negara.
Kebijakan itu telah mendapat tanggapan yang kurang baik. Hal itu dikarenakan Marwan bin Hakam menjadi tokoh yang lebih menentukan dibanding Usman bin Affan sendiri. Usman bin Affan seakan menjadi boneka didepannya.
Sejak itu, permasalan kebijakan perbandaharaan negara mulai muncul. Menurut Usman bin Affan, khalifah mempunyai wewenang untuk menggunakan kekyaan umum bagi kemaslahatan umat. Selama memangku jabatan, khalifah berhak mengatur kepentingan kaum muslimin. Sikap ini membedakannya dari dua khalifah sebelumnya.
D. Perluasan Wilayah Islam
Pada masa Usman bin Affan, kaum muslimin melanjutkan penaklukan-penaklukan. Usman bin Affan melanjutkan kebijakan Umar bin Khattab. Penaklukan itu berlangsung melewati jalur darat dan laut.
Ancaman terbesar waktu itu datang dari Bizantium. Mereka sering kali menyerang daerah perbatasan pantai muslim di Suriah dan Mesir. Pada tahun 646 M, pasukan Bizantium berhasil menduduki Iskandariah. Akan tetapi Amr bin As yang menjabat sebagai gubernur Mesir berhasil mengusir mereka kembali. Pada tahun 651 M, pasukan Bizantium kembali menyerbu Mesir. Abdullah bin Abi Sarah yang menggantikan Amru bin As sebagai gubernur berhasil mengalahkan mereka. Keadaan ini menyadarkan Usman bin Affan bahwa kaum muslimin memerluakan sebuah angkatan laut yang kuat. Usman bin Affan kemudian memerintahkan Mu’awiyah bin Abu Sufyan untuk membentuk angkatan laut yang berkemampuan tinggi. Dengan dukungan angkatan laut tersebut, kaum muslimin berhasil memperluas wilayahnya. Beberapa panglima perang yang terlibat dalam perluasan wilayah Islam adalah sebagai berikut :
1. Abdullah bin Abi Sarah
Ia merupakan pengganti Amru bin As sebagai Gubernur Mesir. Ketika pasukan Bizantium menyerbu Mesir pada tahun 651 M, ia berhasil mengusir mereka. Setahun berikutnya, Abdullah bin Abi Sarah menyiapkan pasukan Bizantium. Ia berhasil merebut pangkalan mereka di Tarablis (tripoli). Gubernur Bizantium disana yang bernama Gregorius berhasil di kalahkan pada tahun 652 M.
2. Mu’awiyah bin Abu Sufyan
Ia adalah putra dari Abu Sufyan bin Harb, seorang tokoh Quraisy yang terkenal dari Bani Umayyah. Mu’awiyah bin Abu Sufyan berhasil membentuk angkatan laut yang tangguh. Ia bertempur melawan pasukan Bizantium di Pantai Kalkilia. Perang itu merupakan perang laut yang pertama bagi kaum muslimin dan terkenal dengan nama Perang Zatu Sawri. Dengan bantuan Abdullah bin Abi Sarah, ia berhasil menguasai Amuriyah dan Pulau Siprus pada tahun 33 H (653 M). Dalam perang itu, Kaisar Konstantin terbunuh.
3. Umair bin Usman
Pada tahun 29 H (649 M), ia berhasil menguasai Fergana.
4. Abdullah al-Laisi
Ia berhasil menguasai Kabul.
5. Abdullah at-Tamimi
Ia memimpin pasukan muslim menguasai Hindustan. Daerah tersebut semula dikuasai orang-orng Hindu.
6. Sa’id ibnu As
ia berhasil menguasai Jurjan.
7. Abdullah bin Amir
Ia memimpin pasukan muslimin menghadapi pemberuntakan Yazdajird. Ia ialah Kaisar Persia yang dikalahkan Umar bin Khattab. Ia mengorbankan perlawanan di Kirman. Ketika terdesak ia melarikan diri ke Khurasan. Akhirnya, Yazdajird terbunuh disana. Beberapa wilayah yang melanggar kesepakatan dengan kaum musimin di tundukkan oleh Abdullah bin Amir.
E. Menyusun Mushaf Al-Qur’an
Terus berkembangnya wilayah Islam membuat pemeluk agama islam makin bertambah. Disetiap wilayah yang baru, di situ pula Al-Qur’an ditinggalkan. Bahkan, tidak hanya tulisannya yang di tinggalkan, tetapi juga penghapalnya. Tulisan Al-Qur’an yang ditinggalkan itu beragam bentuknya, susunan surah-surahnya dan dialeknya. Hal itu menimbulkan banyak perselisihan, perpecahan dan pertengkaran dikalangan umat islam.
Orang yang mula-mula menaruh perhatian terhadap hal ini adalah Huzaifah bin Yaman. Ia kemudian mengusulkan Usman bin Affan agar menyelesaikan masalah ini. Langkah awal yang dilakukan oleh Usman bin Affan adalah meminta kumpulan naskah Al-Qur’an yang disimpan oleh Hafsah binti Umar. Naskah ini merupakan suatu kumpulan tulisan Al-Qur’an yang berserakan pada masa Abu Bakar as-Siddiq. Usman bin Affan kemudian membentuk sebuah panitia penyusun Al-Qur’an.
F. Peristiwa Fitnah
Peristiwa ini terjadi pada periode keduapemerintahan Usman bin Affan. Sebab terjadi peristiwa itu adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan Usman bin Affan yang mengangkat kerabat-kerabatnya dari Bani Umayyah sebagai pejabat pemerintahan menaimbaulkan rasa iri dari kaum muslimin. Mereka melihat bahwa Bani Umayyah mempunyai kedudukan yang tingggi dalam pemerintahan. Meraka juga memiliki hak –hak istemewa dan kekayaan yang belimpah. Padahal, Bani Umayyah orang-orang yang terakhir menerima Islam. Banyak dari mereka menerima islam berdasarkan keuntungan duniawi. Mereka menyadari mereka akan tetap kalah apabila mereka masih tetap memnyembah berhala. Beberapa pejabat dari Bani Umayyah menunjukkan periaku yang tidak baik. Hal itu ditunjukkan oleh Walid bin Uqbah, Gubernur Irak. Ia datang kemesjid dalam keadaan mabuk. Keadaan itu memunculkan perlawanan terbuka. Pada tahun 30 H, Walid bin Uqbah menjatuhkan hukuman mati kepada tiga pemuda yang membunuh Ibnu Haisuman al-Khuza’i. Hukum mati itu mengundang kemarahan Bani Azad, keluarga pemuda yang dihukum.
2. Hilangnya pengaruh kaun Ansar Madinah dan Bani Hasyim juga menjadi sebab yang penting. Kedua golongan tersebut kehilangan hak-hak mereka dalam urusan pemerinthan. Hal itu menyebabkan kedua golongan tersebut Bani Umayyah.
3. Pengangkatan Mawan bin Hakam sangat tidak disukai oleh masyarakat muslim. Ia adalah orang yang sangat mementingkan diri sendiri. Ia juga merencanakan agar Bani Umayyah dapat menguasai pemerintahan Islam.
4. Kesederhanaan dan kemurahan hati Usman bin Affan menjadi penyebab bencana bagi dirinya. Ia terlalu mempercai Marwan bin Hakam. Hal itu membuat pemerintahan makin buruk. Akibatnya, banyak orng yang membuat kerusuhan di daerah. Seharusnya Usman bin Affan mampu mengatasi hal itu dengan kekerasan dan ketegasan. Akn tetapi, ia tidak melakukan hal itu krena kelembutan hatinya.
5. Pembuangan Abu Darda al-Ghifari telah membangkitkan kemaran kaum muslimin. Abu Darda al-Ghifari adalah orang yang sangat saleh. Ia membela kepentingan rakyat kecil. Ia telah mendesak Gubernur Suriah agar mewajibkan orang-orang kaya menyisihkan sebagian hartanyabagi kepentingan kaum miskin. Akan tetapi, Mu’awiyah bin Abu Sufyan melporkannya sebagai penghasut kepada Usman bin Affan. Akhirnya, ia dibuang dan dikucilkan di Desa Rabadah.
6. Kaum munafik telah menyebarkan fitnah dan hasutan. Mereka dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Ia adalah seorang Yahudi yang berasal dari Yaman dan berpuara-pura masuk Islam. Ia menghasut kaum muslimin agar memberptak kepada khalifah.
Keadaan itu mnyebabkan kaum muslimin menjadi kacau. Dikota Kufah dan Basrah, rakyat menentang gubernur-gubernur yang diangkat oleh Usman bin Affan. Di Mesir, Abdullah bin Saba’ mendakwahkan hak Ali bin Abi Thalib yang sah untuk menjabat sebagai khalifah. Ia menyebarkan pemikiran Yahudi tentang Mesiah. Abdullah bin Saba’ menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib akan datang sebagain al-Mahdi atau penyelamat dunia.
Pemberontakan pertama pecah di Mesir. Mereka mengusir gubernur. Kemudian, sekitar 600 orang pemberontak datang ke Madinah. Dalam perjalanan, para pemberontak dari Kuffah dan Basrah ikut bergabung. Mereka mengamukakan keluhan-keluhan terhadap Usman bin Affan. Keluhan itu ditanggapi oleh Usman bin Affan dengan mengangkat Muhammad bin Abu Bakar sebai Gubernur yang baru. Para pemberontak itu kelihatannya puas dan kembali kedaerah masing-masing.

G. Wafatnya Usman bin Affan
Setelah para pemberontak itu kembali ke daerah masing-masing, tampaknya permasalahan sudah selesai. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka mereka malah kembali lagi ke Madinah. Ali bin Abi Thalib mencegah mereka agar tidak melakukan keonaran. Ali bin Abi Thalib menanyakan kepada mereka mengapa kembali ke Madinah. Mereka berkata bahwa mereka telah mencegat seorang pembantu khusus Usman bin Affan yang membawa sepucuk surat kepada Gubernur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah. Surat itu ditulis oleh Marwan bin Hakam yang meminta Abdullah bin Abi Sarah untuk membunuh mereka setibanya di Mesir.
Oleh karena itu para pemberontak meminta Usman bin Affan menyerahkan Marwan Bin Hakam. Tuntutan itu tidak bisa dipenuhi Usman bin Affan. Mereka kemudian mengepung rumah khalifah. Pada saat yang berbahaya itu, sahabat dan kerabat Usman bin Affan telah meninggalkannya. Pada tanggal 17 Juni 656 M (35 H), para pemberontak menyerbu rumah Usman bin Affan. Mereka membunuh Usman bin Affan yang sedang membaca Al-Qur’an. Usman bin Affan meninggal sebagai syahid pada usia 82 tahun. Pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun.
Terbunuhnya Usman bin Affan akibat-akibat yang merugikan Islam. Beberapa akibat ter sebut adalah sebagai berikut :
1. Pembunuhan Usman bin Affan membangkitkan semangat kesukuan Arab yang telah lama hilang sebagai hasil ajaran Nabi Muhammad saw.
2. Peristiwa tersebut memecahkan kesatuan umat Islam. Bani Umayyah dan Bani Hasyim menjadi dua golongan yang bersaing dan bermusuhan. Demikian juga kaum Ansar Madinah dan Bani Umayyah Mekkah.
3. Kota Madinah kehilangan kedudukannya sebagai pusat kekhalifahan. Osisi iitu bergeser ke Kufah dan Damaskus. Kaum ansar juga kehilangan kedudukan mereka dalam pemerintahan.
4. Gerakan perluasan wilayah Islam mengalami kemunduran. Hal itu disebabkan kesulitan-kesulitan yang timbul dalam pemerintahan.
5. Peristiwa yang menyebabkan pecahnya perang saudara dalam Islam. Perang saudara itu kemudian memunculkan golongan-golongan dalam Islam, seperti Suni, Syi’ah, dan Khawarij.
Demikianlah, pembunuhan Usman bin Affan merupakan peristiwa yang sangat merugikan Islam. Usman bin Affan termasyhur karena kesalehan dan kejujurannya. Ia sangat taqwa dan sederhana dalam hidupnya. Kesederhanaan dan keermawanan merupakan ciri utama wataknya yang menonjol. Walaupun hidupnya berakhir tragis, Usman bin Affan telah memberikan sumbangan yang berharga bagi umat Islam.
Ali bin Abi Thalib
A. Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib dilahirkan dimekkah pada tahun 602 M. Ia adalah putra dari paman Nabi Muhammad saw. Abu Thalib sangat berjasa pada masa awal perjuangan Islam. Ia selalu melindungi Nabi Muhammad saw, dari usaha-usaha jahat kaum kafir Quraisy. Abu Thalib adalah kakak kandung ayah Nabi Muhammad saw yaitu Abdullah bin Abdul Muttalib.
Sewaktu lahir, ia diberi nama Haidarah oleh ibunya, Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Nama itu kemudian diganti oleh ayahnya dengan Ali. Ketika berusia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi Muhammad saw. Pada waktu Nabi Muhammad saw, diangkat sebagai Rasul, Ali baru berusia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi Muhammad saw. Setelah masuk Islam, ia selalu brsama Nabi Muhammad saw. Ia selalu menaati setiap perintah Nabi Muhammad saw. Ali bin Abi Thalib juga banyak menyaksikan Nabi Muhammad saw menerima wahyu. Oleh karena itu, ia banyak menimba rahasia ilmu ketuhanan dan berbagai persoalan keagamaan.
Ketika Nabi Muhammad saw, hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali bin Abi Thalib diperintahkan tetap tinggal di rumah Nabi Muhammad saw. Hal itu dilakukan agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi Muhammad saw, masih berada di rumahnya. Padahal tindakan itu sangat membahayakan dirinya. Orang-orang kafir Quraisy bisa saja membunuhnya karena mengira dirinya Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ia menjadi orang pertama yang menjadi fida’ atau tebusan bagi Nabi Muhammad saw. Ia kemudian menyerahkan sejumlah titipan Nabi Muhammad saw kepada para pemiliknya amasing-masing. Ali bin Abi Thalib mampu mengerjakan tugas yang penuh resiko itu dengan baik. Dengan cara itu, Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar as-Siddiq berhasil meninggalkan kota Mekkah dengan selamat tanpa diketahui orang Quraisy. Tidak berapa lama kemudian, Ali bin Abi Thalib menyusul hijrah ke Madinah.
Setahun setelah hijrah, Nabi Muhammad saw, mengawinkannya dengan Fatimah, putri kesayangan beliau. Sebenarnya, Ali bin Abi Thalib tidak berani melamar Fatimah karena kemiskinannya. Akan tetapi, Nabi Muhammad memberika dorongan dengan memberikan bantuan sekedarnya untuk persiapan rumah tangga mereka. Ali bin Abi Thalib kemudian menjual baju besinya seharga 500 dirham (kurang lebih 10 gram emas) sebagai mas kawin. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib berusia 20 tahun, sedangkan Fatimah berusia 15 tahun. Nabi Muhammad saw memilihnya sebagai suami Fatimah karena ia adalah seorang pemuda yang arif dan terpelajar. Disamping itu, Ali bin Abi Thalib, merupakan orang yang pertama memeluk islam.
Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat sederhana. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana ini juga yang ia ajarkan kepada putra-putrinya.
Ali bin Abi Thalib juga terkenal sebagai panglima yang gagah berani. Kebeeranianya menggetarkan lawan-lawannya. Nabi Muhammad saw mewariskan sebilah pedang yang bernama zul-faqar kepadanya. Ali bin Abi Thalib turut serta dalam hampir semua peperangan pada masa Rasulullah saw. Bahkan, ia selalu menjadi andalan dibarisan terdepan.
Selain itu Ali bin Abi Thalib juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan. Nabi Muhammad saw pernah bersabda,” Aku kota ilmu pengetahuan, sedangkan Ali pintu gerbangnya.” Oleh karena itu, nasehat dan fatwanya selalu didengar khalifah sebelumnya. Ali bin Abi Thalib juga ditempatkan pada posisi kadi atau mufti. Ketika Nabi Muhammad saw wafat, Ali bin Abi Thalib menunggui jenazah beliau dan mengurus pemakamannya. Sementara itu, sahabat-sahabat yang lain sibuk memikirkan soal pengganti Nabi Muhammad saw.
Pada masa akhir pemerintahan Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib termasuk salah satu orang yang ditunjuk menjadi anggota majlis asy-syura. Majlis itu bertugas memilih pengganti Umar bin Khattab sebagai khalifah. Majlis tersebut juga beranggotakan Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf, serta Ali bin Abi Thalib sendiri. Majlis ini kemudian memilih Usman bin Affan sebagai khalifah.
Ali bin Abi Thalib banyak mengeritik Usman bin Affan yang terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya. Ia meminta Usman bin Affan bersiikap tegas terhadap kerabatnya yang menyeleweng. Akan tetapi, Usman bin Affan kurang menerima nasihat Ali bin Abi Thalib. Akibatnya, terjadilah kekacauan dan peristiwa-peristiwa finah lainnya. Dalam keadaan seperti itu, Usman bin Affan meminta bantuan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, keadaan sudah sedemikian kacau sehingga Usman bin Affan tidak bisa diselamatkan lagi.
B. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Setelah terbunuhnya Usman bin Affan, kaum muslimin meminta kesedian Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah. Mendengar permintaan itu, Ali bin Abi Thalib berkata “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang amat penting. Ini adalah urusan tokoh-tokoh ahl asy-syura bersama para pejuang Perang Badar.” Ali bin Abi Thalib akhirnya diangkat sebagai khalifah.pembaiatan mula-mula dilakukan oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pembaiatan itu dilaksanakan pada tanggal 27 Zulhijjah 33 H di mesjid Madinah.
Setelah diangkat menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib mengambil langkah-langkah, yaitu :
1. Mengganti para pejabat yang diangkat oleh Usman bin Affan;
2. Mengambil tanah yang telah dibagikan oleh Usman bin Affan yang telah dibagikan kepada kerabatnya tanpa tujuan yang jelas;
3. Memberikan tunjangan kepada kaum muslimin yang diambilkan dari Baitul Mal;
4. Mengatur urusan pemerintahan;
5. Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan kota Kufah sebagai pusat pemerintahan.
Hal itu dilakukannya untuk mengatasi perlawanan Bani Umayyah yang ketika itu mulai membangkang serta tidak membaiatnya.
C. Beberapa Pemberontakan
Terbunuhnya Usman bin Affan menjadi permasalahan yang sangat sulit bagi Ali bin Abi Thalib. Banyak pihak, terutama dari keluarganya yang menuntut agar pembunuh Usman bin Affan segera ditemukan dan dihukum. Apabila Ali bin Abi Thalib tidak bersedia, maka ia dianggap sebagai pembunuhnya. Tentu saja hal itu tidaklah mudah bagi Ali bin Abi Thalib. Keadaan itu memunculkan beberapa pemberontakan berikut ini.
1. Pemberontakan Talhah, Zubair, dan Aisyah (36 H/656 M)
Pemberontakan ini adalah yang pertama pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Ketiga orang itu menuntut bela atas kematian Usman bin Affan.
Talhah adalah sahabat Nabi Muhammad saw yang tertua dan sangat dihormati. Ia juga merupakan salah seorang kerabat Abu Bakar as-Siddiq. Adapun Zubair bin Awwam adalah kerabat Usman bin Affan dan menantu Abu Bakar as-Siddiq. Ia menikahi putri Abu Bakar as-Siddiq yang bernama Asma’.
Pada mulanya mereka membaiat Ali bin Abi Thalib. Karena tuntutannya tidak dikabulkan Ali bin Abi Thalib, mereka mencabut baiatnya dan pergi menuju Basra. Mereka memiliki banyak pengikut di kota itu. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Aisyah. Mereka kemudian menyampaikan kabar terbunuhnya Usman bin Affan kepada Aisyah. Aisyah sangat terkejut mengetahui hal itu. Ia lebih terejut lagi ketika diberi tahu bahwa Ali bin Abi Thalib belum bersedia menghukum para pemberontak. Aisyah kemudian bergabung dengan Talhah dan Zubair. Sesampainya di Basra, mereka merebut kekuasaan. Gubernur Basra yang di anggat oleh Ali bin Abi Thalib, Usman bin Hanif, ditawan. Keadaan segera meruncing.
Ali bin Abi Thalib segera menyelesaikan persoalan ini. Akan tetapi ia menghindari cara-cara kekerasan. Ia mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar bersedia berunding. Ajakan tersebut tidak ditanggapi oleh Talhah dan Zubair. Akhirnya peperangan dahsyat tidak dapat dihindari lagi.
Dalam peperangan itu Aisyah mengendarai unta untuk menghadapi musuhnya. Oleh karena itu, peperangan tersebut terkenal dengan sejarah sebagai Jangi Jamal atau Perang Jamal. Sebagai salah seorang panglima perang yang tangguh, Ali bin Abi Thalib berhasil segera mengalahkan lawannya. Talhah dan Zubair terbunuh. Semtara itu, 20.000 orang islam lainnya gugur dalam pertempuran itu. Adapun Aisyah ditawan. Ali bin Abi Thalib memulangkannya kembali ke Madinah dengan ditemani saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq. Aisyah tetap dihormati sebagai ummul-mu’minin.
Sejak itu, Basra masuk secara penuh dalam pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Ali bin Abi Thalib berangkat menuju Kufah untuk menyelesaikan pemberontakan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
2. Pemberontkan Mu’awiyah bin Abu Sufyan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan tidak pernah mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap Ali bin Abi Thalib bersekongkol dengan pemberontak untuk membunuh Usman bin Affan. Oleh karena itu mereka menuntut Ali bin Abi Thalib menghukum para pembunuh Usman bin Affan segera mungkin. Hal itu tentu saja tidak dapat disanggupi Ali bin Abi Thalib.
Permasalahn makin sulit ketika Mu’awiyah menolak perintah Ali bin Abi Thalib untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur. Mu’awiyah bahkan mempersiapkan pasukan perang untuk melawan Ali bin Abi Thalib.
Setelah selesainya Perang Jamal, Ali bin Abi Thalib segera berangkat menuju Damaskus. Ternyata, Mu’awiyah telah siaga menghadangnya di sebuah tempat di luar Damaskus yang bernama Siffin. Sekali lagi, Ali bin Abi Thalib mengusulkan perjanjian damai kepada Mu’awiyah. Perjanjian itu gagal dilaksanakan dan meletuslah peperangan dengan sengitnya. Perang tersebut terkenal dengan sebutan Perang Siffin. Ali bin Abi Thalib adalah panglima perang yang sangat piawai. Dalam waktu singkat, pasukan Mu’awiyah berada di ambang kehancuran. Pada saat itu, Amru bin As meminta kepada Mu’awiyah untuk meminta damai kepada Ali bin Abi Thalib. Ia adalah penasehat Mu’awiyah yang terkenal cerdik dan licik. Ia kemudian meminta prajuritnya untuk mengikat Al-Qur’an di ujung tombak serta menyeru perdamaian. Ali bin Abi Thalib mngerti hal itu hanyalah tipuan. Ia berniat untuk terus melanjutkan peperangan. Akan tetapi, sebagian prajuritnya meminta agar peperangan dihentikan. Peperangan pun berhenti.
Setelah itu, perundingan dilaksanakan. Dalam sejarah, peristiwa ini terkenal dengan sebutan tahkim atau arbitrasi. Pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amru bin As, sedangkan dari pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Mula-mula Amru bin As mengatakan bahwa Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib meletakkan jabatan. Barulah setelah itu kaum muslimin memilih khalifah yang baru. Oleh karena itu, Amru bin As meminta kepada Abu Musa al-As’ari mengumumkan pengunduran khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Amru bin As menyatakan Mu’awiyah sebagai khalifah untuk mengisi kekosongan jabatan itu. Melihat kecurangan itu, pihak Ali bin Abi Thalib marah. Merka meminta Ali bin Abi Thalib untuk melnjutkan perang kembali. Akan tetapi, Ali bin Abi Thalib menolaknya karena ia telah berjanji untuk menerima hasih perundingan. Akhirnya, orang-orang itu memisahkan diri dari kelompok Ali bin Abi Thalib. Mereka ini kemudian disebut khawarij, artinya orang yang keluar. Demikianlah, persoalan itu akhirnya tidak terselesaikan dan malah memunculkan persoalan yang baru.
3. Pemberontakan Kaum Khawarij
Kaum khawarij kemudian menyatakan perang terhadap kelompok Ali bin Abi Thalib dan kelompok Mu’awiyah. Mereka kemudian menyingkir ke Harurah, sebuah desa di dekat Kufah. Mereka kemudian mengangkat Syibi bin Rubi’at-Tamimi sebagai panglima perang dan Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Di Harurah mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur semua pihak yang menyetujui tahkim dan tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang hendak mereka bunuh adalah Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Amru bin As, dan Abu Musa al-Asy’ari.
Keadaan Ali bin Abi Thalib menjadi sulit. Di satu pihak, ia ingin segera menghancurkan Mu’awiyah yang makin kuat. Di pihak lain, kekuatan kaum khawarij sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk menyerang kharij terelbih dahulu. Kemudian, barulah ia menyerang Damaskus.
Pada tahun 658 M, Ali bin Abi Thalib menyerang kaum khawarij di Nahrawan. Perang ini dikenal dengan sebutan Perang Nahrawan. Kaum khawarij berhasil dihancurkan. Abdullah bin Wahhab ikut terbunuh.
D. Akhir Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Kekalahan kaum khawarij dalam Perang Nahrawan membuat mereka makin dendam. Mereka terus-menerus menghancurkan kehidupan kaum muslimin. Dipihak lain, kekuatan Mu’awiyah makin bertambah. Pada tahun 658 M, Amru bin As berangkat ke Mesir dan menaklukkannya. Hal itu membuat kekuasaan Mu’awiyah majin luas.
Secara diam-diam, kaum khawarij merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, dan Amru bin As. Mereka dianggap sebagai orang yang menyebabkan perpecahan umat Islam. Mereka menetaapkan tiga orang untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka adalah :
1. Abdurrahman bin Muljambertugas membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah;
2. Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu’awiyah di Damaskus;
3. Amr bin Bakar at-Tamimi bertugas membunuh Amru bin As di Mesir.
Di antara ketiga orang itu, hanya Abdurrahman bin Muljam yang berhasil melaksanakan tugas. Ia menusuk Ali bin Abi Thalib ketika melaksanakan salat subuh. Ali bin Abi Thalib akhirnya meninggal pada bulan Ramadhan tahun 40 H (661 M). Masa pemerintahannya berlangsung selama kurang lebih 4 tahun. Ia meninggal dalam usia 60 tahun.
Dilihat dari hasilnya, pemerintahan Ali bin Abi Thalib dapat dianggap mengalami kegagalan. Kegagalan ini terutama disebabkan sikap kompromi ali bin Abi Thalib terhadap Mu’awiyah. Selain itu, Ali bin Abi Thalib harus menghadapi pemberontakan Talhah bin Zubair, sreta kaum khawarij. Peperangan melawan mereka sangat melemahkan kekuatan Ali bin Abi Thalib.
Di pihak lain, Mu’awiyah berhasil meningkatkan kekuatannya. Ia memiliki pendukung, keuangan, dan sumber kekayaan yang jaun lebih besar dibandingkan Ali bin Abi Thalib. Bani Umayyah dan orang-orang Arab Suriah selalu memasoknya dengan sumber kekuatan yang tidak ada habisnya.
Ali bin Abi Thalib merupakan Khulafaur Rasyidin yang terakhir. Ia hidup sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw yang sangat sederhana dan suci. Ia sangat cermat dalam melaksanakan prinsip-prinsip Baitul Mal. Ia tidak pernah membelanjakan atau mengizinkan orang lain membelanjakan perbendaharaan negara satu sen pun. Masa Khulafar Rasyidin merupakan puncak kegemilangan Islam. Mereka memiliki jasa yang sangat besar dalam mengembangkan Islam.

BAB II
PENUTUP
Kesimpulan

Senin, 26 Maret 2012

Guru sebagai pembangkit motivasi belajar bagi siswa di kelas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peran seorang guru pada pengelolaan kelas sangat penting khususnya dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menarik. Itu karena secara prinsip, guru memegang dua tugas sekaligus masalah pokok, yakni pengajaran dan pengelolaan kelas.Tugas sekaligus masalah pertama, yakni pengajaran, dimaksudkan segala usaha membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sebaliknya, masalah pengelolaan berkaitan dengan usaha untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Kegagalan seorang guru mencapai tujuan pembelajaran berbanding lurus dengan ketidakmampuan guru mengelola kelas. Indikator dari kegagalan itu seperti prestasi belajar murid rendah, tidak sesuai dengan standar atau batas ukuran yang ditentukan. Karena itu, pengelolaan kelas merupakan kompetensi guru yang sangat penting dikuasai dalam rangka proses pembelajaran. Karena itu maka setiap guru dituntut memiliki kemampuan dalam mengelola kelas.
B. Rumusan Masalah
1. Guru Sebagai Pembangkit Motivasi Belajar Bagi Siswa di Kelas
2. Guru Sebagai Pembimbing Siswa
3. Peran Guru Dalam Proses Belajar Mengajar di Kelas
C. Tujuan/Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah menyelesaikan tugas dari dosen yang bersangkutan, guna melengkapi materi perkuliahan yang diberikan. Serta menambah pengetahuan dan semoga bermanfaat bagi semua.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Guru Sebagai Pembangkit Motivasi Belajar Bagi Siswa di Kelas
Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Adapun menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling, dan dirangsang karena adanya tujuan.
Namun pada intinya bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik:
1. Pertama Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.
2. Kedua Motivasi Ekstrinsik. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar. Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2. Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
3. Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.
5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.
Menurut saya, motivasi dari dalam siswa dapat dibentuk jika seorang guru/pendamping mampu membuat suatu pelajaran tersebut menyenangkan bagi siswa. Caranya bisa melalui permainan, simulasi, menonton film, interaksi langsung dengan alam, penggunaan media-media interaktif dan sebisa mungkin justru menghindari hukuman.
Hukuman tidak efektif untuk membentuk perilaku, jadi sebaiknya justru dihindari, lebih baik menggunakan sistem pujian atau hadiah. Hukuman hanya akan memberikan rasa takut pada siswa, padahal rasa takut adalah penghambat seseorang untuk belajar.
B. Guru Sebagai Pembimbing Siswa
Guru berusaha membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif. Siswa adalah individu yang unik. Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walaupun secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi pada hakikatnya mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan sebagainya. Di samping itu setiap individu juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama perkembangan mereka tentu tidaklah sama juga. Perbedaan itulah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing.
Hubungan guru dan siswa seperti halnya seorang petani dengan tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanamannya cepat berbuah dengan menarik batang atau daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk berbuah. Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu tumbuh dengan sempurna, tidak terkena hama penyakit yang dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak tumbuh dengan sehat, yaitu dengan cara menyemai, menyiram, memberi pupuk dan memberi obat pembasmi hama. Demikian juga halnya dengan seorang guru. Guru tidak dapat memaksa agar siswanya jadi ”itu” atau jadi ”ini”. Siswa akan tumbuh dan berkembang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Inilah makna peran sebagai pembimbing. Jadi, inti dari peran guru sebagai pembimbing adalah terletak pada kekuatan intensitas hubungan interpersonal antara guru dengan siswa yang dibimbingnya.
Lebih jauh, Abin Syamsuddin (2003) menyebutkan bahwa guru sebagai pembimbing dituntut untuk mampu mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching). Berkenaan dengan upaya membantu mengatasi kesulitan atau masalah siswa, peran guru tentu berbeda dengan peran yang dijalankan oleh konselor profesional. Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah siswa yang mungkin bisa dibimbing oleh guru yaitu masalah yang termasuk kategori ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan.
Dalam konteks organisasi layanan Bimbingan dan Konseling, di sekolah, peran dan konstribusi guru sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisien pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Prayitno (2003) memerinci peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling adalah :
1. Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa.
2. Membantu konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.
3. Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada konselor.
4. Menerima siswa alih tangan dari konselor, yaitu siswa yang menuntut konselor memerlukan pelayanan khusus. seperti pengajaran/latihan perbaikan, dan program pengayaan.
5. Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.
6. Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
7. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
8. Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.
Jika melihat realita bahwa di Indonesia jumlah tenaga konselor profesional memang masih relatif terbatas, maka peran guru sebagai pembimbing tampaknya menjadi penting. Ada atau tidak ada konselor profesional di sekolah, tentu upaya pembimbingan terhadap siswa mutlak diperlukan. Jika kebetulan di sekolah sudah tersedia tenaga konselor profesional, guru bisa bekerja sama dengan konselor bagaimana seharusnya membimbing siswa di sekolah. Namun jika belum, maka kegiatan pembimbingan siswa tampaknya akan bertumpu pada guru. Agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai pembimbing, berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Misalnya pemahaman tentang gaya dan kebiasaan belajar serta pemahaman tentang potensi dan bakat yang dimiliki anak, dan latar belakang kehidupannya. Pemahaman ini sangat penting, sebab akan menentukan teknik dan jenis bimbingan yang harus diberikan kepada mereka.
2. Guru dapat memperlakukan siswa sebagai individu yang unik dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan keunikan yang dimilikinya.
3. Guru seyogyanya dapat menjalin hubungan yang akrab, penuh kehangatan dan saling percaya, termasuk di dalamnya berusaha menjaga kerahasiaan data siswa yang dibimbingnya, apabila data itu bersifat pribadi.
4. Guru senantiasa memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mengkonsultasikan berbagi kesulitan yang dihadapi siswanya, baik ketika sedang berada di kelas maupun di luar kelas.
5. Guru sebaiknya dapat memahami prinsip-prinsup umum konseling dan menguasai teknik-tenik dasar konseling untuk kepentingan pembimbingan siswanya, khususnya ketika siswa mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam belajarnya.
C. Peran Guru Dalam Proses Belajar Mengajar di Kelas
Perkembangan baru terhadap pandangan belajar mengajar membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingat optimal. Berikut peranan guru yang dianggap paling dominan:
1. Guru sebagai demonstrator
Melalui perannya sebagai demonstrator atau pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkanya serta senantiasa mengembangkanya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam ilmu yang dimiliki karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai siswa.
2. Guru sebagai pengelola kelas
Dalam peranya sebagai pengelola kelas, guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkunagn belajar serat merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan pendidikan. Lingkungan yang baik adalah yang bersifat menantang, dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai tujuan.
3. Guru sebagai mediator dan fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian media pendidikan merupakan dasar yang diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran disekolah.
4. Guru sebagai evaluator
Guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik, kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Guru adalah front terdepan dalam pelaksanaan pendidikan. Operasional pendidikan pada tingkatan mikro atau lapis dasar (gras root) adalah ditingkat institusional atau satuan pendidikan dan instruksional. Namun ada kecenderungan guru tersisihkan dari peranannya sebagai pihak yang terdepan, termasuk kaitannya dengan EBTA, EBTANAS, UAN, UNAS, UAS-BN atau apapun namanya.
Guru sebagai pihak yang berada ditingkat instruksional berhadapan langsung dengan peserta didik dalam proses instruksional harus memperoleh otonomi pedagogis dan profesional untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai pendidik.
Guru sebagai perancang pengajaran, manager pengajaran, pengarah pembelajaran, pembimbing peserta didik dan penilai hasil belajar, maka merekalah yang sesungguhnya mempunyai otonomi dalam memberikan informasi hasil belajar, tapi kenyataan hingga saat ini guru lebih banya diperlakukan sebagai komponen obyek dan bukan sebagai subyek insan pendidikan. Sudah seharusnya guru memperoleh preoritas sentral dalam pemberdayaan otonomi pedagogisnya dalam mewujudkan kinerja pendidikan.
Mengingat besarnya peran guru pada tingkat institusional dan instruksional, maka guru harus dijadikan sumber informasi proses dan hasil pendidikan dari anak didik yang menjadi tanggung jawabnya. Guru harus diberdayakan dalam keikutsertaannya dalam evaluasi dan proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Pengelolaan Pengajaran. Cet. V. Ujungpandang: Bintang Selatan, 1994.
Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Cet. VI: Bandung: Rosda Karya, 1995.
Hadi, Sutrisno. Methodologi Research. Jilid I. Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1992.
Abu Ahmadi, dan Ahmad Rohani. Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/10/17/peran-guru-sebagai-pembimbing/
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/1926813-peran-guru-pada-pengelolaan-kelas/#ixzz1h8LdfkFH

bahan ajar akidah akhlak

Standar Kompetensi : Membiasakan akhlak terpuji
Kompetensi Dasar : Membiasakan akhlak yang baik dalam kehidupan tetangga dan bermasyarakat
Indikator : 1. Mangetahui pengertian sikap terhadap tetangga
2. Mengenal sikap terhadap tetangga
Uraian Materi


ADAB ISLAMI KEPADA TETANGGA
A. Pengertian Sikap terhadap Tetangga
1. Pengertian adab
Adab adalah tgata cara sopan santun atau kesopanan. Adab dalam istilah Islam adalah akhlak, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Jadi, akhlak adalah suatu hal yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia terhadap Tuhannya, terhadap sesamanya, dan terhadap makhluk lainnya.

2. Pengertian tetangga
Tetangga adalah orang yang rumahnya berdekatan dengan rumah kita. Jadi, semua orang yang rumahnya berdekatan dan bersebelahan dengan rumah kita itu adalah tetangga, baik mereka beragama Islam maupun yang beragama lainnya. Sebagai tetangga kita harus saling menghargai, menghormati, tolong-menolong, baik tetangga itu kaya maupun tetangga itu orang miskin.

B. Sikap Terhadap Tetangga
1. Cara bertetangga
Tetangga yang baik adalah tetangga yang saling menghormati, menghargai, dan tolong-menolong dalam segala keadaan. Dalam bertetangga tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang mengganggu tetangga, seperti:
a. Memfitnah tetangga.
b. Merusak taman yang ada disekitar rumah tetangga.
c. Membunyikan musik dengan sangat keras.
d. Mengganggu putra-putri atau binatang peliharaannya.
e. Mengganggu rumah tangganya.
f. Mempersulit tetangga yang membutuhkan kita.
g. Membiarkan tetangga yang kesusahan.

2. Tolong-menolong dalam bertetangga
Manusia adalah makhluk sosial yang harus bergaul dengan manusia lainnya dan tidak bisa menyendiri, tetapi harus berhubungan dan berinteraksi dengan sesamanya.
Dalam bertetangga kita pasti akan saling membutuhkan satu sama lain. Tetangga yang kaya membutuhkan tetangga yang miskin untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya. Dan tetangga yang miskin membutuhkan orang kaya untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Krena itu kita hendaknya jangan memandang remeh tetangga yang miskin, sebab kita membutuhkan mereka dan nmereka pun membutuhkan kita.

3. Sopan santun dalam bertetangga
a. Harus hormat-menghormati dengan tetangga, seperti menyapa ketika berjumpa di jalan, atau mengucapkan salam ketika bertemu.
b. Bila kita berbahagia, undanglah tetangga kita untuk berbagi kebahagiaan dan bila tetangga kita mendapat kebahagiaan, kita ucapkan selamat kepada mereka.
c. Hendaknya kita sopan dalam berkata dan berbuat.
d. Bantulah tetangga kita yang kekurangan dan kesusahan.
e. Bersikap dan berbuat adillah dengan tetangga, serta tepatilah janji.
f. Bila kita memiliki makanan, maka berbagilah dengan tetangga kita. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:”masaklah sayur dengan memperbanyak kuahnya untuk dibagikan kepada tetangga.”
Evaluasi :
Isilah titik-titik dibawah ini dengan memilih jawaban yang terdapat dalam kotak!
Tetangga - adab - menghormati - sopan - kebaikan - membantu - akhlak - masa bodoh - menjaga - berbagi rezeki
1. Sebagai tetanggaq kita harus bersikap . . . .
2. Bila tetangga kita mengalami musibah kita harus . . . .
3. Kita harus tolong-menolong dalam hal . . . .
4. Tetangga yang baik itu tetangga yang saling . . . .
5. Cara bertetangga yang baik adalah . . . .
6. Orang yang rumahnya berdekatan dengan kita adalah . . . .
7. Budi pekerti yang menjadi kebiasaan disebut . . . .
8. Perbuatan yang dilarang dengan tetangga contohnya . . . .
9. Adab sama artinya dengan . . . .
10. Bila kita bahagia sikap kita terhadap tetangga . . .

Minggu, 04 Desember 2011

Keteladanan sifat optimis dan teliti

A. Keteladanan sifat optimis dan teliti Nabi Sulaiman As
Nabi Sulaiman ialah putra Nabi Daud as. Setelah Nabi Daud wafat, Nabi Sulaiman menggantikan ayahnya. Nabi Sulaiman diangkat sebagai rasul oleh Allah. Beliau diutus menjadi rasul kepada Bani Israil. Nabi Sulaiman merupakan rasul yang memiliki ilmu dan kemampuan yang tinggi. Ia dapat mengerti bahasa binatang dan menguasai jin.
Sebagai seorang raja, Nabi Sulaiman memiliki kekuasaan yang luas. Beliau memiliki bala tentara jin dan manusia. Bahkan, angin dan binatang dapat beliau perintah.
Contoh sifat optimis dan ketelitian Nabi Sulaiman dalam memutuskan masalah atau perkara yaitu kisah berikut:
Suatu hari, datang dua orang wanita yang mukanya terdapat bekas cakaran. Mereka telah berkelahi memperebutkan seorang bayi. Kedua wanita ini saling mengaku bahwa bayi itu badalah miliknya. Nabi Sulaiman as kemudian mengadili keduanya.
“Karena kalian berdua tetap sama-sama mengakui bayi ini milik kalian, bagaimana kalau bayi ini ku belah menjadi dua? Masing-masing dari kalian mendapat sebelah.” Kata Nabi Sulaiman. Salah satu dari wanita itu berlutut di telapak kaki Nabi Sulaiman sambil berkata, “Ampuni Tuanku, bayi ini jangan dibelah!”
Adapun wanita yang satu lagi berkata dengan penuh semangat , “Teruskan, teruskan!Itulah hukuman yang adil.”
Melihat keadaan seperti itu, Nabi Sulaimanpun mengerti. Bayi itu kemudian diserahkan kepada wanita yang menangis dan bersimpuh dikakinya karena Nabi Sulaiman tahu bahwa wanita itulah ibu kandung yang sebenarnya. Seorang ibu tidak akan tega melihat bayinya dibelah menjadi dua, sedangkan wanita yang satu tadi dihukum dan dipenjara karena hatinya jahat ingin merebut bayi orang lain.
Dikisahkan lagi, suatu hari Nabi Sulaimanmencari burung hud-hud yang tidak datang di Istana. Nabi Sulaiman berkata, “Kemana burung hud-hud? Mengapa ia tidak kelihatan? Apakah ia telah pergi? Bagaimana ia barani pergi tanpa aku ketahui?”
Tidak lama kemudian burung itu datang, seraya berkata, “Aku telah mengetahui apa yang tidak Anda ketahui. Aku baru saja kembali dari Kerajaan Saba’ dengan membawa berita yang benar dan nyata. Aku telah mendapatkan seorang perempuan yang memerintah sebuah kerajaan dan memiliki kekuasaan serta berbagai macam kenikmatan. Ia mempunyai singgasana besar yang dihiasi permata dan mutiara. Akan tetapimereka tidak mengetahui bahwa kenikmatan itu berasal dari Allah dan mereka tidak menyembah-Nya. Mereka menyembah matahari dan bersujud kepadanya. Mereka lupa kepada adanya Allah, Tuhan yang wajib disembah. “Kemudian Nabi Sulaiman menjawab, “Kami akan menyelidiki dan memastikan perkataanmu, apakah engkau berkata benar atau berdusta.”
Akhirnya, Nabi Sulaiman mengutus seorang utusan untuk membuktikan perkataan burung hud-hud. Kemudian utusan itu datang ke Kerajaan Saba’. Ternyata memang benar. Utusan itu kembali dengan membawa berita yang sama dengan burung hud-hud.
Nabi Sulaiman kemudian mengundang Ratu Bilqis untuk datang ke istananya. Untuk menyambut kedatangan Ratu bilqis, Nabi Sulaiman menghiasi istananya dengan hiasan yang indah dan tidak ada bandingannya. Ratu Bilqis berkata, “Ya Tuanku, aku telah berbuat aniaya kepada diriku sendiri dan Islamlah aku beserta Sulaiman kepada Tuhan seru sekalian alam.”(Q.S.An-Naml:44)

B. Keteladanan sifat optimis dan teliti Zaid bin Tsabit
Zaid bin Tsabit merupakan sahabat Rasulullah saw dari golongan Ansar Madinah. Ketika Rasulullah Hijrah ke Madinah, umur Zaid bin Tsabit baru sebalas tahun. Zaid bin Tsabit masuk Islam bersama keluarganya. Meskipun ia masih kecil, ia merupakan anak yang beerani dan patuh terhadap ajaan Islam. Bahkan, ketika perang Badar ia ingin ikut berperang, namun dilarang oleh Rasulullah karena masih kecil.
Zaid bin Tsabit terkenal sebagai penghimpun dan penulis Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah secara berangsur-angsur, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Rasulullah menyuruh para sahabat untuk menghafal dan mencatat setiap wahyu yang beliau terima. Semenjak Rasulullah wafat, banyak orang-orang yang menjadi murtad, bahkan ada yang mengaku dirinya nabi. Sahabat Abu Bakar melihat hal ini sebagai ancaman Islam. Kaum murtad harus dibasmi sehingga terjadi Perang Yamamah. Dalam perang ini, banyak sahabat penghafal Al-Qur’an yang wafat dimedan perang. Kurang lebih 70 orang pengahafal Al-Qur’an wafat dalam peperangan tersebut.
Umar bin Khattab khawatir akan kelestarian Al-Qur’an. Ia mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah salat istikharah, Abu Bakar pun menyetujui hal itu. Beliau lalu mempercayakan Zaid bin Tsabit untuk melaksakan tugas besar itu.
“Kamu seorang peemuda yang cerdas, dan kamu juga seorang penulis wahyu yang selalu disuruh Rasulullah. Oleh karena itu, kumpulkan lah ayat-ayat Al-Qur’an itu!”
Demikian lah perintah khalifah Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit. Zaid optimis bahwa ia mampu melaksakannya karena ini merupakan tugas yang dapat mendatangkan rida Allah.
Meskipun Zaid hafal Al-Qur’an, ia tetap bekerja teliti dan cermat. Oleh karena itu, ia perlu mencocokkan hafalannya dengan sahabat lain sehingga Zaid harus bekerja keras untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Berkat kegigihan, ketelitian, dan kecermatannya, Zaid mampu menyelesaikan tugas ini dengan baik sehingga terkumpullah ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dalam lembaran-lembaran yang diikat dengan benang. Lembaran-lembaran yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an itu disebut mushaf. Kemudian, Zaid bin Tsabit menyerahkan mushaf itu kepada khalifah Abu Bakar.

C. Manfaat sifat optimis dan teliti Nabi Sulaiman dan Zaid bin Tsabit
Dari dua kisah di atas, kita dapat mengetahui manfaat sifat optimis, teliti, dan cermat. Manfaat itu antara lain:
1. Kita dapat menyelesaikan dan memutuskan suatu perkara dengan adil dan bijaksana;
2. Kita dapat menyelesaikan tugas dengan baik;
3. Kita akan dipercaya orang lain;
4. Kita akan memperoleh hasil yang maksimal;
5. Keimanan kita kepada Allah akan bertambah.

Ringkasan

• Sipat optimis dan telititermasuk akhlak yang terpuji yang banyak dicontohkan oleh tokoh-tokoh yang berakhlak mulia seperti Nabi Sulaiman as dan Zaid bin Tsabit.
• Nabi Sulaiman as merupakan putra Nabi Daud as. Beliau diutus oleh Allah sebagai Rasul kepada Bani Israil.
• Selain menjadi Rasul, Nabi Sulaiman merupakan seoarang raja yang memiliki bala tentara jin dan manusia.
• Nabi Sulaiman memiliki sifat optimis dan teliti dalam memutuskan perkara atau masalah.
• Zaid bin Tsabit merupakan sahabat Rasulullah saw dari golongan Ansar Madinah.
• Zaid bin Tsabit terkenal sebagai penghimpun dan penulis Al-Qur’an.
• Zaid bin Tsabit merupakan seorang yang optimis. Hal ini ditunjukkan olehnya ketika ia diberi tugas oleh khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Qur’an.
Kamus mini
 Bala tentara : segenap pasukan prajurit beserta senjatanya.
 Khalifah : wakil (pengganti) Nabi Muhammad saw setelah Nabi saw wafat (dalam urusan negara dan agama) yang melaksanakan syariat (hukum) Islam dalam kehidupan bernegara.

Minggu, 25 September 2011

Pengertian Pragmatisme

BAB I
PENDAHULUAN

Pada kira-kira tahun 1890 dimulailah suatu zaman yang baru, yang dalam banyak hal berbeda dengan zaman yang mendahuluinya, tetapi yang masih ada juga keseimbangannya. Abad ke-20 masih juga dijiwai oleh pandangan bahwa cara yang paling baik untuk menemukan kebenaran dibidang filsafat adalah cara yang dengan sadar meninggalkan apa yang telah dapat disumbangkan oleh para pemikir yang terdahulu dibidang itu. Dengan demikian sifat individualistis yang telah tampak pada abad ke-19 menjadi berlaru-larut, sehingga sering sukar sekali untuk mengerti pangkal pemikiran para ahli pikir itu.
Pada umumnya pada bagian pertama abad ke-20 terdapat bermacam-macam aliran yang berdiri sendiri-sendiri dan yang terdapat dibermacam-macam negara. Masing-masing menyebarkan pengaruh yang mendalam dalam masyarakat sekitarnya. Pada zaman parohan pertama abad ke-20 ini umpamanya terdapat aliran pragmatisme di Inggris dan Amerika, filsafat hidup di Perancis dan Jerman, Fenomenologi dan masih ada lain-lainnya lagi.
Di dalam bab ini kita tidak akan membicarakan semua aliran yang ada. Kita akan membatasi dari pada beberapa aliran saja. Umpamanya kita akan membicarakan Pragmatisme yang meragukan kekuasaan akal dan ilmu pengetahuan positif.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Kata ini sering sekali diucapkan orang yang biasanya dipahami dengan pengertian praktis. Jika orang berkata, Rancangan ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis.
Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis.
Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, asal kebenaran mistis membawa akibat praktis yang bermanfaat.

B. Pragmatisme William James (1842-1910)
James lahir di New York City pada tahun 1842, anak Henry James, Sr. Ayahnya adalah seorang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Henry James, Sr. merupakan kepala rumah tangga yang memang menekankan kemajuan intelektual.
Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Pendidikan pormalnya yang mula-mula tidak teratur. Ia mendapat tutor berkebangsaan Inggris, Perancis, Swis, Jerman, dan Amerika. Akhirnya ia memasuki Harvard Medical School pada tahun 1864 dan memperoleh M.D-nya pada tahun 1869. Akan tetapi, ia kurang tertarik pada praktek pengobatan; ia lebih menyukai fungsi alat-alat tubuh. Oleh karena itu, ia kemudian mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvard. Tahun 1875 perhatiannya lebih tertarik kepada pisikologi dan fungsi pikiran manusia. Pada waktu inilah ia menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver Wendel Holmes, Jr., dan lain-lain tokoh dalam Metaphysical Club untuk berdiskusi dalam masalah-masalah filsafat dengan topik-topik metode ilmiah, agama, dan evolusi. Disinilah ia mula-mula mendapat pengaruh peirce dalam metode pragmatisme.
Pandangan filsafatnya, di antaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena didalam praktek, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Dan pragmatisme adalah filsafat praktis karena ia memberikan kontrol untuk bertindak bagi kebutuhan, harapan serta keyakinan manusia, untuk sebagian bagi masa depannya.
Karya psikologinya yang dianggap pionir yang terbit pada tahun 1890, Principles of Psychology, berisi suatu usaha mempelajari mind bukan dari pandangan teoritis, melainkan dari pandangan aksi atau hasil praktis yang dihasilkan dan berhubungan dengan mind. Selanjutnya ia lebih menekankan penyelidikannya pada pendidikan, dan nilai manusia di dalam psikologinya membuat studi tentang mind yang relevan dengan kebutuhan hidup praktis.
The Will to Believe yang terbit pada tahun 1896 dengan jelas memperhatikan sifat humanistis dalam pemikirannya. Di sini ia sepakat dengan Peirce bahwa kepercayaan harus dipahami dalam kerangka tindakan. Keyakinan adalah pragmatisme menurut Peirce dan James, merupakan idea yang padanya seseorang bersedia untuk bertindak. Akan tetapi, sementara Peirce membatasi pragmatismenya pada hasil praktis yang ilmiah, eksperimental, dan obyektif, James memperluas semua idea pragmatisme untuk diterapkan pada hasil-hasil praktis pada agama, moral, dan personal.
Bagi James kepercayaan bukanlah sekedar aturan-aturan bertindak atau idea yang dengannya kita siap untuk bertindak. Kepercayaan adalah sesuatu yang berguna di dalam membuat sesuatu terjadi, dalam membuat sesuatu pasti benar. Pragmatisme James bersifat voluntaristis, penekanannya pada pentingnya faktor usaha dan kesukarelaan dalam keputusan dalam memprjelas sesuatu.
Sesudah ia memberikan kuliahnya di California yang berjudul Philosphical Conceptions and Practical Result pada tahun 1898, ia menulis bukunya yang amat terkenal, Pragmatism pada tahun 1907 dan The Meaning of Truth pada tahun 1909. Kedua buku itu mula-mula disampaikan lewat perkuliahan. Didalam karyanya ini ia berhasil memberikan formulasi yang sempurna tentang pragmatisme humanis. Tahun 1902 ia menulis The Varieties of Religious Experience yang dimaksudkannya sebagai suatu studi psikologi dan filsafat yang klasik. Tahun 1909, sebelum ia meninggal, ia menerbitkan A Pluralistic Universe bersamaan dengan Essay on Radical Empiricism yang terbit setelah ia meninggal, yang memperlihatkan bagaimana cara James mencampurkan psikologi dengan filsafat pada satu subyek epistimologi dan metafisika yang amat rumit.
William James adalah empirisis yang radikal atau empirisis yang pragmatis. Kepribadiannya dan pandangannya tentang manusia memerlukan suatu filsafat yang dapat berlaku adil pada perasaan, agama, moral, dan kepentingan manusia terdalam. Ia memerlukan suatu filsafat yang pantas, yang dapat menghadapi kenyataan secara terus terang. Ia mencurigai setiap sistem filsafat yang murni intelektual atau yang mengaku benar secara absolut. Filsafat yang tidak selesai serta tidak absolut, itulah filsafat yang diakuinya, tetapi filsafat itu harus menyertai kehidupan manusia dan masa depannya. Filsafat harus membantu manusia menyelesaikan masalah yang dihadapinya, memberikan kepada manusia harapan yang optimistis dalam kehidupan yang vital.

1. Meliorisme dan Teori Kebenaran
Pernyataan pragmatis pada James adalah,”Apakah yang dilakukan oleh idea itu padamu dalam menghadapi kehidupan nyata?” untuk memiliki nilai-nilai kemanusiaan, setiap idea mestilah berguna untuk setiap tujuan hidup yang jelas. James mencari tujuan yang kongkret dan memperkaya kehidupan. Inilah dua ciri khas pragmatisme James. Dalam kenyataannya kedua ciri ini menjadi indikator hasil praktis dalam pragmatisme James. Untuk memahami hal ini secara lebih jelas, perlu diketahui apa yang dimaksud oleh James dengan meliorisme.
Meliorisme adalah fungsi penengah antara filsafat tender minded dan tough minded.
James melihat ada dua watak kefilsafatan yang pokok. Ia menggunakan istilah tough minded dan tender minded. Tough minded menyatakan diri dalam pendekatan empiris, dalam mencari kebenaran. Ia hanya berkepentingan dengan fakta-fakta yang dapat diindera. Ini tentu saja menuju kepada materialisme, dan skeptis terhadap apa saja yang berbau imaterial. Empirisisme tough minded hanya mengakui fakta atom, dan mempunyai keraguan tentang adanya suatu prinsip akal a priori di belakang atom itu. Di dalam filsafat, tough minded ditandai oleh pendekatan sedikit demi sedikit dan pluralistis. Oleh karena itu, ia mendapat kenyataan sebagian-sebagian, bukan kenyataan yang menyeluruh tentang objek. Sikap ini akan melahirkan kereligiusan dan pesimisme. Temperamen tender minded kelihatan dalam pendekatan rasional; selalu mencapai konsep dan prinsip. Ia selalu merupakan pemikiran dan usaha intelektual, lebih sistematis, lebih konsesten daripada kepercayaan inderawi tough minded. Filsafat tender minded, karena itu, menemukan abstraksi-abstraksi dan eksistensi imaterial, cenderung idealistis. Karena mengunggulkan kekuatan akal dalam mencari kenyataan, filosof tender minded tidak menemui kesulitan dalam menemukan nilai-nilai yang abadi dan absolut.
Pragmatisme sebagai meliorisme bermakna bahwa pertentangan atau ekstremintas harus dilihat pada segi akibat-akibat praktisnya. Oleh karena itu, metode pragmatisme mengajukan pertanyaan,”Apakah perbedaan pokok yang diperlihatkannya kepada Anda dan kepada saya bila idea ini atau itu dipraktekkan?” ini adalah metode dalam menghadapi kehidupan nyata, yang juga merupakan masalah filsafat. Ini berarti suatu usaha membawa filsafat turun menghadapi situasi khusus.
Bagi James, filsafat harus berupa filsafat manusia, yang dapat menunjukkan bagaimana manusia harus hidup dan mengisi kehidupannya. Oleh karena itu, ia ingin pragmatisme tidak hanya menjadi suatu filsafat tertentu, tetapi lebih sebagai suatu metode. Ia berpendapat bahwa kebenaran pragmatisme tidaklah akan diperoleh tanpa menerapkannya sebagai suatu metode. Jadi, pragmatisme bukanlah filsafat yang lengkap sebagai suatu sistem. Pragmatisme dapat digunakan sebagai metode mengatasi persoalan dengan cara menemukan akibat-akibat praktis yang muncul dari penerapan idea.
Menurut James, materialisme tidak memberikan harapan kepada manusia; spiritualisme memberikan. Ini tidak berarti bahwa spiritualisme atau keyakinan pragmatismenya itu dapat memberikan pembuktian nyata, tetapi harapan itu jelas membawa akibat praktis bagi kehidupan manusia. Apa yang amat diperlukan dalam menguji pragmatisme James ialah pengertian khusus. Nominalisme James diambil dari pandangan individual dan humanisnya. Sudah jelas, ia memandang alam semesta bukan dari sudut logika dan ilmiah, melainkan dari sudut kemanusiaannya. Ia mendapatkan alam semesta ini kosong kecuali bila dipandang dari segi partikularnya. Karena itulah penguji pragmatis berbunyi: Apakah kita memperoleh suatu pengertian khusus darinya atau tidak? Menjelaskan idea umum dengan menggunakan idea umum yang laintentulah tidak memuaskan, dan akan berhenti pada masalah yang verbal saja; demikian James.
Pragmatisme tidak menerima kebenaran yang kurang dinamis. Kebenaran harus dianggap dinamis dan humanis dalam arti mempunyai fungsi dalam kehidupan. Kebenaran adalah suatu proses, menurut James, yaitu suatu proses validitas atau verifikasi terhadap idea.
Pragmatisme juga mengajarkan bahwa kebenaran tidaklah sekedar berfungsi atau berguna, tetapi juga harus mempunyai kegunaan kongkret. Oleh karena itu, kebenaran adalah ”suatu kumpulan nama untuk pruses verifikasi, seperti kesehatan, kekayaan, kekuatan, dan sebagainya adalah suatu nama proses yang berhubungan dengan kehidupan kita, dan diperlukan untuk kita.” Disini kelihatan meliorisme James. Suatu idea yang benar haruslah mempunyai kegunaan secara umum dalam membawa kita menuju kenyataan. Bagaimana pun abstraknya suatu idea, ia bisa benar apa bila benar semuanya.
Kebenaran itu ada bermacam-macam. Ada kebenaran yang dapat diuji secara logis (akliah), bahkan ada kebenaran yang hanya dapat diuji dengan kekuatan rasa (hati, dlamir, intuisi, moral, iman).

2. Humanisme dan Kehidupan Moral
Yang dimaksud oleh James dengan humanistis disini ialah realitas tidak boleh dan tidak mungkin dipisahkan dari faktor-faktor kemanusiaan, tidak ada kebenaran yang terpisah dari kegunaannya bagi manusia. James menolak sains yang tidak manusiawi, yaitu sains yang abstrak. Katanya, bagaimana pun abstraknya teori sains, ia dapat diterima, tetapi dengan syarat teori itu sekurang-kurangnya dapat memberikan ramalan untuk masa depan.


Di bawah ini adalah beberapa contoh kebenaran yang sudah final:
a. Yang besar selalu lebih besar daripada yang lebih kecil daripada itu.
b. Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan yang salah.
c. Mengasihi orang lebih bermanfaat daripada membenci orang.
Bagaimanakah James menjelaskan ini? Jika James mengatakan bahwa itu pun belum final, maka kita mengatakan, “sekarang saya paham mengapa kebudayaan moral orang Amerika sekarang seperti yang ada sekarang.”
Pernyataan terakhir ini agaknya memperoleh pembenaran setelah James mengatakan bahwa kaidah moral yang umum pun tidak mungkin dibuat; itu disebabkan oleh situasi dan lingkungan selalu berubah. Membayangkan filsafat moral James, kita dibawa kembali ke zaman yang jauh kebelakang, yaitu kepada keadaan filsafat moral pada zaman sofisme di Yunani. Tidak akan jauh meleset bila dikatakan bahwa pragmatisme James sebenarnya suatu filsafat yang bercorak relativisme; jadi sama dengan filsafat sofisme Yunani. Relativisme inilah (lebih-lebih relativisme ukuran moral) agaknya yang dapat menjelaskan watak moral di Barat sekarang.
3. Agama dan Iman
Pernyataan James bahwa agama perlu bagi manusia tentulah diterima oleh orang yang beragama, tetapiargumen yang diajukan oleh James belum tentu berkenan dihati semua orang yang beriman. Argumennya lemah. Ia mengatakan bahwa agama perlu karena berguna bagi kehidupan. Lemahnya argumen ini ialah karena orang dapat juga mengajukan argumen bahwa agama bahkan merugikan. Jika pragmatisme bergerak pada kenyataan, maka inilah kenyataannya. Argumen seharusnya lebih kuat daripada itu. Untuk menyusun argumen yang lebih kuat itu kita harus melalui jalan rasional atau jalan intuisi seperti yang diajukan oleh Kant. James tidak mau melalui kedua jalan ini. Jalan itu jalan abstrak, jalan tender minded; demikian kata James.
Tentang definisi agama, James mengambil definisi psikologi; ini dapat dipahami. Ia menyatakan bahwa agama merupakan perasaan, tindakan dan pengalaman manusia individual dalam kesunyiannya bersama Yang Mahatinggi. Definisi ini netral, kata James. Intinya ialah kepercayaan kepada ketinggian. Benarkah definisi itu netral? Masih perlu dipertanyakan; atau apa pengertian netral disini?
Pernyataan James baik tatkala ia mengajukan argumen bahwa ada orang yang tidak mau menerima agama karena agama tidak ilmiah. Pernyataan ini benar. Artinya, memang ada orang yang menolak agama karena agama tidak ilmiah. Akan tetapi, argumen yang diajukan oleh James tidak dapat dipahami. Katanya, kalau kita menerima bahwa kebenaran agama adalah kebenaran yang belum selesai, maka kebenaran agama dapat diterima.
Perubahan-perubahan ajaran agama (untuk bagian yang dapat berubah) bukanlah perubahan tanpa batas pinggir; perubahan itu terbatas dan dibatasi oleh ajaran-ajaran yang sudah final itu. Ini pun kenyataan. James seharusnya memperhatikan kenyataan ini karena ia sendiri mengatakan bahwa pragmatismenya adalah filsafat kenyataan.

4. Empirisisme Radikal dan Plural
Empirisisme radikal adalah nama yang diberikan oleh James untuk pandangannya tentang dunia. Di sini ia mempraktekkan pragmatismenya dalam daerah metafisika dan epistemologi. Pragmatisme menurut pandapatnya memberikan suatu jalan untuk membicarakan filsafat dengan melalui pemecahan lewat pengalaman indera. Akan tetapi, ini saja tidak mencukupi.
Oleh karena itu, empirisisme radikalnya berpandangan pluralistis. Secara ringkas, di dalam empirisisme radikal ini ia menyimpulkan bahwa pemikiran abstrak tentang alam semesta hanya dapat disusun lewat pengalaman. Fakta sebenarnya tidak lebih dari sekedar pengalaman.

C. Pragmatisme John Deway (1859-1952)
Ia dilahirkan di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi guru besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada Universitas-universitas di Minnesota, Michigan, Chicago (1894-1904), dan akhirnya di Universitas Columbia (1904-1929).
Ia adalah seorang pragmatis, tetapi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perubahan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak lain daripada alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral.
Jikalau terdapat pemisahan diantara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.
Menurut Dewey, penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu, penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumen). Jadi yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi dimasa depan.
Gagasan tentang pertumbuhan ini dipakai juga dalam ajaran tentang pendidikan. Ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah ialah untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal kepada pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan sebagai “bahan pelajaran” pengalaman-pengalaman yang berfaedah bagi hari depan anak didik dan sekaligus juga dapat dialami oleh anak didik itu pada masa kini. Anak didik harus menyelidiki, menyaring dan mengatur pengalaman-pengalaman yang demikian itu.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Filsafat pada mulanya, sampai kapan pun, merupakan usaha menjawab pertanyaan yang penting-penting. Orang telah berusaha menjawab pertanyaan itu dengan indera (empirisisme dalam artian yang datar), dengan akal (rasionalisme dalam artian yang datar), dan dengan rasa (intuisionisme, juga dalam artian yang datar). Ketiga isme itu mempunyai banyak variasi pandangan didalamnya. James mencoba menjawab pertanyaan dengan isme pertama dan ingin menggabungkannya dengan isme kedua. Penggabungan yang dilakukannya dinamakannya pragmatisme, meminjam nama yang sudah digunakan orang sebelum dia. Akan tetapi, sayang, penggabungan itu gagal.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang. Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dalam filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut: pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri. Kita harus mengatakan saya sekarang mengerti mengapa kebudayaan Amerika sekarang demikian. Mendengar ini James akan berkata, “Ah, itu ‘kan gaya berfikir tender minded.”


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi Asmoro. (2008). Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada.

Hadiwijono Harun, Dr. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).

Poedjawijatna, Prof. I. R. (1990). Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.

Syadali Ahmad, H. Drs. M.A. dan Drs. Mudzakir. (1997). Filsafat Umum untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.

Tafsir Ahmad, Dr. (1997). Filsafat Ilmu Akal dan Hati sejak Thales sampai James. Bandung: Pustaka Setia.

Tafsir Ahmad. (2003). Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Senin, 06 Juni 2011

Administrasi dan Manajemen

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan Ilmu Administrasi dan Manajemen, Dalam dunia pendidikan di indonesia, bidang studi administrasi pendidikan boleh dikatakan masih baru. Di negara-negara yang sudah maju, mulai berkembang dengan pesat sejak pertengahan pertama abad ke-20, terutama sejak berakhirnya dunia kedua, khususnya di negara kita indonesia, administrasi pendidikan baru di pekenalkan melalui beberapa ikip sejak tahun 1960-an dan baru masuk sebagai mata pelajaran dan mata ujian di sga/spg sejak tahun ajaran 1965/1966. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para pendidik sendiri bayak yang belum dapat memahami berapa perlu dan pentingnya administrasi pendidikan itu dalam penyelengaraan dan pengembangan pendidikan itu sendiri sebagai ilmu terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan pendidikan di negara masing-masing.
Sebagai ilmu pengetahuan administrasi merupakan suatu fenomena masyarakat yang baru, karena baru timbul sebagai suatu cabang dari pada ilmu-ilmu sosial, termasuk perkembangannya di indonesia. Sekalipun administrasi sebagai ilmu pengetahuan yang baru berkembang di indonesia, dengan membawa perinsip-perinsip yang universal, akan tetapi dalam perkteknya harus diseduaikan dengan situasi kondisi indonesia dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempunyai pengaruh (impack) terhadap perkembangan ilmu administrasi sebagai suatu disiplin ilmiah yang berdiri sendiri. Pengembangan di bidang administrasi dalam rangka peningkatan kemampuan administrasi (administratif capability), bukan saja diperuntukkan dalam lingkungan pemerintah saja, tetapi juga sebagai organisasi-organisasi swasta, terutama dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional.
Setiap organisasi memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Salah satu tugas tersebut dalam manajemen. Dalam organisasi bisnis dikenal antaralain manajemen pengangkut dan pengiriman, manajemen pembelian gudang, manajemen perencanaan, manajemen operasi, dan sebagainya. Dalam organisasi pendidikan macam-macam manajemen seperti itu tidak dikenal melainkan hanya ada sejenis manajemen yang bertingkat ialah manajemen tertinggi sampai dengan manajemen terdepan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Administrasi sebagai ilmu (science) dan seni (art).
Sebagai ilmu pengetahuan admiinistrasi merupakan suatu fenomena masyarakat yang baru, karena baru timbul sebagai sebagai suatu cabang dari pada ilmu-ilmu sosial termasuk perkembangan di indonesia. Sekalipun ilmu administrasi baru berkembang di indonesia, dengan membawa prinsip-perinsip yang universal, akan tetapi dalam prakteknya harus di sesuaikan dengan kondisi indonesia dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempunyai pengaruh (impact) terhadaf perkembangan ilmu administrasi sebagai suatu disiplin ilmiah yang berdiri sendiri.
Pengembangan di bidang administrasi dalam rangka penigkatan kemampuan administratif (administrativ capability), bukan saja di peruntukan dalam lingkungan pemerintah saja, tetapi juga bagi organisasi-organisasi swasta, terutama dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional. Administrasi sebagai ilmu pengetahuan termasuk kelompok ‘’appilied sciences’’ karena kemamfaatanya hanya ada apabila perinsip-perinsip, rumus-rumus dan dalil=dalilnya di terapkan mutu berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara . Sedangkan administrasi dalam suatu peraktek atau sebagai suatu seni pada zaman modern sekarang ini merupakan peroses kegiatan yang perlu di kembangkan secara terus menerus, agar administrasi sebagai suatu sarana untuk mencapai suatu tujuan benar-benar dapat memegang peranan yang dapat di harapkan.
Administrasi sebagai seni pada hakekatnya timbul bersama-sama dengan timbulnya peradaban manusia. Jelasnya semenjak manusia telah berbudaya, yaitu dengan mengembangkan ciptanya/akal pikirannya, rasanya/seninya, karsanya/kehendaknya dan adanya kerja sama antara 2 orang atau lebih telah merupakan unsur-unsur administrasi dalam kehidupan bersama/barmasyarakat. Oleh karena itu administrasi sebagai suatu seni sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru, karena dengan adanya 2 manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu, disana sudah terdapat administrasi, yaitu administrasi dalam praktek. Herbert A.Simon, misalnya, pernah mengatakan bahwa apabila ada 2 orang yang bekerjasama untuk menggulingkan sebuah batu yang tidak dapat digulingkan hanya oleh satu orang di antara mereka, di sana telah terdapat administrasi.

B. Administrasi sebagai sesuatu disiplin ilmiah.
Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa sejak periode prasejarah dan periode sejarah, manusia telah menjalankan sebagian prinsip-prinsip administrasi yang sekarang kita kenal, dan telah menerapkan dalam bidang pemerintahan, perdagangan, perhubungan, pengangkutan dan sebagainya, misalnya terlihat pada zaman Pemerintahan Kerajaan Mataram I, Majapahit dan Sriwijaya (di Indonesia), zaman Pemerintahan Kerajaan Mesir kuno, zaman Perintahan Kerajaan Tiongkok kuno dan sebagainya. Bukti-bukti peningalan pada zaman tersebut berupa hasil kebudayaan yang sekarang masih dikagumi orang, yaitu candi borobudur, candi kalasan (indonesia). Piramid dari mesir dan pagar tembok raksasa dari tiongkok dll.
Berakhirnya perkembangan administrasi sebagai seni di tandai oleh lahirnya “gerakan manajemen ilmiah’’yang di pelopori oleh frederick w.taylor dari amerika serikat dan henry fayol dari perancis, pada akhir abad XIX dan di sini terdapat dua hal yang perlu di catat,yaitu:
1. Berakhirnya setatus administrasi sebagai seni semata-mata dan lahirnya administrasi dan manajemen sebagai suatu ilmu pengetahuan (disiplin baru) .
2. Berahirnya periode prasejarah dan periode sejarah manusia dalam perkembangan administrasi dan manajemen dan tibanya periode “zaman modern” yang dimulai sejak berahirnya abad yang lalu dan terus berkembang sampai sekarang dalam abad XX ini.
Perlu di tambahkan di sini bahwa setiap perkembangan ilmu administrasi yang telah dikemukakan di atas, maka pada waktu yang bersamaan timbul perkembangan-perkembangan mengenai substansi-substansi yang mengenai obyek penelitian dalam ilmu administrasi, misalnya : ilmu manajemen, ilmu aorganisasi, ilmu administrasi negara/ niaga, ilmu administrasi keuangan, kepegawaian, material dan lain-lain Ilmu pengetahuan timbul dan berkembang oleh karna adanya kebutuhan yang nyata yang dirasakan oleh masyarakat terhadap sesuatu ilmu tertentu. Bagi negara-negara yang pada waktu sekarang ini digolongkan kepada ”negara yang sedang berkembang” (developing countries) dirasakan bahwa teori-teori dan prinsip-prinsip dari pada ilmu administrasi negara yang tradisional yang terutama dikembangkan di dunia barat, khususnya amerika srerikat, sudah tidak memadai terhadap kebutuhan bagi negara-negara yang sedang giat melakukan pembangunan. Oleh karena itu para ahli mulai mengalihkan pikiran, perhatiannya serta waktunya terhadap satu cabang ilmu administrasi yang relevan dengan negara-negara yang sedang berkembang, yaitu ilmu administrasi pembangunan.
C. Pelopor dan bapak ilmu administrasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebenarnya ilmu administrasi dan manajemen baru di kembangkan pada akhir abad ke-19, yaitu oleh henry fayol dari perancis dan frederick w.taylor dari amerika serikat. Oleh karena kedua orang tersebut telah mengembangkan ilmu administrasi/manajemen yang di angap moderen pada waktu itu, maka mereka di angap sebagai pelopor atau bapak ilmu administrasi/manajemen. Adapun perbedaan dari pada analisanya ialah kalau H.fayol pendekatanya mendasarkan diri atas administrative manajement (manajemen administratif), sedangkan f.w.taylor karena pengalamannya mendasarkan analisanya atas operative manajemen (manajemen operatif) yang dimaksud dengan administrative manajement ialah suatu pendekatan dari pimpinan atas sampai ketingkat pimpinan yang terbawah sekalipun, termasuk para pekerjanya. Sedangkan yang di maksud dengan operative manajement ialah pendekatan dari bawah ketingkat yang lebih atas. Titik beratnya ialah efisiensi dan produktivitas para pelaksananya yang terdapat di tingkat bawah.

D. Henry fayol (1841-1925)
Henry fayol adalah seorang insinyur bangsa perancis yang bekerja pada industri pertambangan. Berdasarkan analisanya ia menarik kesimpulan bahwa perinsip-prinsip pokok dari poada administarasi dapat diterapkan/dijalankan pada semua bentuk dari pada organisasi. Menurut fayol administrasi merupakan bagian kegiatan dalam badan usaha. Badan usaha adalah yang melaksanakan ke arah suatu sasaran atau tujuan (obyektif) dengan usaha mendapatkan keuntungan yang oftimum dari semua sumber-sumber yang tersedia. Untuk mulaksanakan maksud tersebut diperlukan pekerjaan yang lancar dengan menerapkan ke-6 (enam) fungsi utama, dimana administrasi hanyalah salah satu fungsi kegiatan.
Adapun 6 (enam)fungsi/kegiatan itu ialah:
1. Kegiatan teknis (operations techniques), yaitu produksi, fabrikasi, pengolahan.
2. Kegiatan kommersial (operation commerciales), yaitu jual beli, tukar menukar.
3. Kegiatan finansial (operation financieres), yaitu mencari dan menggunakan uang/kapital.
4. Kegiatan keamanan (operetion de securite), yaitu perlindungan harta kekayaan dan orang.
5. Kegiatan akunting (operetion de comptabilite), yaitu imventaris, neraca, nilai harga, statistik.
6. Administrasi (operotion administratives), yaitu perencanaan, pengorganisasian, memimpin, penkoordinasian dan pengawasan.
Henry fayol mendefinisikan administrasi dalam 5 unsur (elemen)yaitu:
1. Untuk meramalkan (forecast) dan untuk merencanakan (planning/prevonyance)
2. Untuk mengorganisasi (organizing/organisation).
3. Untuk memimpin (commanding/comandement)
4. Untuk mengkoordinasi (coordinating/coordinatin).
5. Untuk mengawasi (controlling/controle)
E. Frederick W. Taylor (1856-1916)
Taylor sebagai seorang Sarjana Teknik yang bekerja pada suatu perusahaan baja di philadelpia mulai mengadakan penyelidikan-penyelidikan dalam rangka usahanya menungkatkan efisiensi perusahaan dan meningkatkan produktivitas para pekerja. Taylor memperhatikan bahwa efisiensi perusahaan tidak terlalu tinggi dan produktivitas buruh rendah karena terlalu banyak waktu dan gerak-gerik kaum buruh yang tidak produktif.
Pada tahun 1898 Taylor diminta oleh perusahaan pabrik baja bethlemen untuk memajukan perusahaan tersebut yang mengalami kemunduran. Taylor mempelajari pekerja-pekerja yang mengangkat besi batang yang harus di bawa dan diletakkan pada gerbong kereta api tiap besi batangan itu beratnya 92 pon (42 kg) setiap pekerja dapat mengangkut 12 ton (125 kwintal) sehari. Berdasarkan atas percobaan dan analisanya, ya sampai pada kesimpulan bahwa:
1. Tidak semua pekerja melakukan pekerjaannya sesuai dengan bakatnya, maka perlu diadakan pemilihan pekerja yang baik.
2. Setiap pekerja harus melakukan pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya, maka perlu diadakan latihan daripada pekerja agar dapat diperbaiki metode pekerjaannya
3. Untuk menjaga produktivitas kerja yang baik maka perlu diadakan pembagian waktu bekerja dan waktu beristirahat.
4. Produktivitas kerja akan terjamin, apabila diadakan sistem standar dari pada hasil kerja dan sistem insentif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai ilmu pengetahuan administrasi merupakan suatu fenomena masyarakat yang baru, karena baru timbul sebagai suatu cabang dari pada ilmu-ilmu sosial, termasuk perkembangannya di indonesia. Sekalipun administrasi sebagai ilmu pengetahuan yang baru berkembang di indonesia, dengan membawa perinsip-perinsip yang universal, akan tetapi dalam perkteknya harus diseduaikan dengan situasi kondisi indonesia dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempunyai pengaruh (impack) terhadap perkembangan ilmu administrasi sebagai suatu disiplin ilmiah yang berdiri sendiri. Pengembangan di bidang administrasi dalam rangka peningkatan kemampuan administrasi (administratif capability), bukan saja diperuntukkan dalam lingkungan pemerintah saja, tetapi juga sebagai organisasi-organisasi swasta, terutama dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
AHMAD Muhammad, Perkembangan Administrasi dan Manajemen, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Muhammad Jamaluddin, Administrasi dan Manajemen, Nusantara, Bandung, 1983.

Manajemen Berbasis Sekolah

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional. Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi. MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money, dan material. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan.
Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2 masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
2. Batasan masalah :
1. Apa itu Manajemen Sekolah
2. Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3. Apa manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Apa Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
5. Apa Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
6. Apa karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
7. Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses Pemberdayaan

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Manajemen Sekolah
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi ( administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam makalah ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
1. merencanakan (planning),
2. mengorganisasikan (organizing),
3. mengarahkan (directing),
4. mengkoordinasikan (coordinating),
5. mengawasi (controlling), dan
6. mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manjemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Manajemen berbasis sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri.
Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting. Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
3. Manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya. Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakannya. Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
1. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
4. Pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan Manajemen sekolah
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar. MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya.
Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah, ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik. Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
5. Syarat Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut:
1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
3. Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
4. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
5. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
6. Hambatan Dalam Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS)
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1) Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2). Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3). Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4) Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5) Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6). Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
7. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang berhubungan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar murid. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasikan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula. Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan lebih sedikit murid yang bermasalah. Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Studi-studi terkini (Caldwell & Hayward, 1998; Caldwell & Spinks, 1998; Fullan & Watson, 2000; Ouchi & Segal, 2003; Volansky & Friedman, 2003) telah menggarisbawahi pentingnya pembuatan keputusan setempat yang sejak awal tertuju pada belajar dan mengajar dan dukungan terhadap belajar dan mengajar, terutama dalam membangun kapasitas staf untuk mendesain dan menyampaikan kurikulum dan pembelajaran yang memenuhi kebutuhan siswa, dengan memperhatikan prioritas kebutuhan setempat, termasuk kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan memonitori keluaran. Juga terlihat pentingnya membangun kapasitas masyarakat untuk mendukung upaya sekolah. Dengan kata lain, penerapakn manajemen berbasis sekolah mungkin tidak berdampak pada belajar kecuali aturan-aturan ini, yang secara umum disebut peningkatan kapasitas dan pemanfaatan kapasitas, telah berhasil.
Di tingkat makro, studi internasional tentang prestasi siswa seperti TIMSS dan TIMSS-R dan PISA dan PISA telah mengkonfirmasi pentingnya keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi, dengan manajemen berbasis sekolah relatif lebih tinggi sebagai satu unsur desentralisasi, termasuk pembuatan keputusan lokal menyangkut masalah personel, profesionalisme, monitoring keluaran, dan membangun dukungan masyarakat.
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya modal intelektual dan modal sosial dalam membangun satu sistem sekolah yang mengelola diri sendiri. (self-managing school). Membangun modal intelektual merupakan contoh pengembangan kapasitas, yang dibahas lebih rinci pada proposisi 11. Modal sosial merujuk pada membangun hubungan yang saling mendukung di antara sekolah, rumah, masyarakat, lembaga keagamaan, dunia usaha dan industri, dan lembaga lain di sektor publik dan swasta. Pengalaman menunjukkan bahwa, batapapun kuatnya kehendak strategis, diperluan waktu betahun-tahun agar pergeseran dalam keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi memungkinkan desentralisasi berdampak pada keluaran. Ini merupakan pengesahan satu legislasi untuk pergeseran kewenangan, otoritas, tanggung jawab, dan pengaruh dari satu tingkat ke tingkat lain pergeseran itu merupakan perubahan dalam struktur. Pergeseran lain adalah membangun kapasitas agar diperoleh dampak yang diharapkan dari belajar dan mengubah kultur di semua tingkat.
Satu implikasi penting adalah, pemimpin sekolah harus memastikan bahwa dia dan koleganya memperbarui pengetahuan tentang praktik yang baik dalam peningkatan sekolah, dan bahwa membangun modal sosial dan intelektual merupakan inti pekerjaan pemimpin senior di sekolah Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Ada juga Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
8. Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung jawab atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogyanya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
Manajemen berbasis sekolah telah menimbulkan perdebatan karena berbagai kekuatan pendorong telah membentuk kebijakan, dan kekuatan-kekuatan ini telah tercermin atau diduga mencerminkan preferensi politik atau orientasi ideologi. Manajemen berbasis sekolah yang digerakkan oleh kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat dan peningkatan profesi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Pusat. Manajemen berbasis sekolah telah digerakkan oleh kepentingan untuk memberikan kebebasan yang lebih besar atau lebih banyak diferensiasi sering diasosiasikan dengan pemerintahan Daerah, Manajemen berbasis sekolah yang telah digerakkan, dimana manajemen berbasis sekolah sering dipandang sebagai manifestasi dari upaya menciptakan satu pasar di antara sekolah dalam sistem pendidikan umum.
Manajemen berbasis sekolah sering menimbulkan perdebatan pada tahap-tahap awal pengadopsian, tetapi ia terus diterima setelah beberapa waktu, sedemikian rupa sehingga hanya sedikit pemangku kepentingan ingin kembali pada pendekatan yang lebih sentralistik dalam mengelola sekolah. Akan tetapi ada pengecualian penting, terutama mengenai kasus di Hong Kong – Cina. School Management Initiative (SMI) merupakan inisitatif manajemen berbasis sekolah mulai awal 1990-an. Tetapi pelaksanaannya lambat, terutama pada sektor yang dibantu, dimana banyak orang berpendapat bahwa SMI menghambat ketimbang memberdayakan. Leung (2003) menyimpulkan bahwa “tujuan reformasi desentralisasi oleh pemerintah adalah memperkuat kendali dan memastikan mutu pendidikan melalui teknik-teknik manajemen. Yaitu bahwa ‘mutu’ diartikan dalam hal penggunaan sumber daya yang lebih efisien, asesmen keluaran (outcome), indikator kinerja, dan evaluasi eksternal. Bukan pembagian kewenangan ataupun pemberdayaan stakeholder menjadi tujuan”. Reformasi tetap menjadi perdebatan di Hong Kong.
Dalam analisis terakhir, meskipun ada kekuatan pendorong yang lain, kriteria kritis untuk menilai efektivitas reformasi yang mencakup manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana manajemen berbasis sekolah mengarah pada atau berhubungan dengan pencapaian hasil belajar yang membaik, termasuk prestasi siswa ke tingkat yang lebih tinggi, bagaimana pun mengukurnya.
Belakangan banyak terjadi perubahan dalam pandangan bahwa tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan hasil pembelajaran, dan untuk alasan inilah, kebanyakan pemerintahan memasukkan manajemen berbasis sekolah dalam kebijakan bagi reformasi pendidikan.
Satu implikasi penting adalah bahwa pemimpin sekolah harus memastikan bahwa perhatian masyarakat sekolah (termasuk tenaga kependidikan) tidak hentinya difokuskan pada hasil belajar siswa, dan ini harus menjadi kepedulian utama meskipun makna manajemen berbasis sekolah sangat sering menimbulkan perdebatan.
Para pengeritik sering mengutip temuan ini. Akan tetapi banyak dari penelitian terdahulu hanya mengambil informasi atau opini dari sistem dimana dampak dari keluaran tidak pernah menjadi tujaun utama, atau bahkan tujuan kedua. Hal ini terutama berlaku bila manajemen berbasis sekolah diimplementasikan sebagai satu strategi untuk membongkar birokrasi pusat yang besar, mahal, dan tidak responsif atau sebagai satu strategi untuk memberdayakan masyarakat dan profesional. Bahkan ketika dampak atas keluaran menjadi tujuan utama, sulit menarik kesimpulan terhadap dampak karena database tentang prestasi siswa lemah.
Satu telaah terhadap penelitian (Caldwell, 2002) menunjukkan bahwa telah ada tiga generasi studi, dan justeru pada studi generasi ketiga bahwa bukti dampak pada hasil ditemukan, tetapi hanya bila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi. Generasi pertama adalah saat di mana dampak atas hasil tidak menjadi tujuan utama atau kedua. Generasi kedua adalah ketika dampak menjadi tujuan utama atau kedua tetapi database lemah. Ketiga, muncul pada akhir 1990-an dan dengan mengumpulnya momentum awal 2000-an, yang berbarengan dengan kepedulian terhadap hasil belajar dan pengembangan database yang kuat.
Satu implikasi penting adalah, para pemimpin sekolah harus sadar bahwa manajemen-diri tidaklah selalu berdampak pada hasil belajar siswa dan mereka harus melakukan setiap upaya untuk menjamin bahwa ada mekanisme untuk menghubungkan manajemen dengan beberapa area dalam pelaksanaan sekolah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Ada pula yang positif.
Penelitian yang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, “there is virtually no firm”. Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. “There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal”. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan antara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian di sekolah-sekolah Esrael bahwa ”greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment and on the school’s achievement”. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap keberhasilan sekolah. Hasil penelitan William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukkan bahwa “the increase decision-making power of principals has allowed them to introduce innovative programs and practices”. Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif. Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa “school-based management has led to higher student achievement” De Grouwe (1999).
Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa “enhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students’ language skills and diminished absenteeism”. Jemenez dan Sawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orangtua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
9. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan.
1. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional, dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela. Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya ?. (Bentley & Wilsdon, 2004).
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
1. www.scirb.com/manajemen-berbasis-sekolah/
2. http://kumpulanartikel.com/manajemen-berbasis-sekolah/